Jumat, 22 September 2017

Amankan SS:Hate Speech Kembali Menuai Hasil


Tanjungpinang.info – Polres Tanjungpinang kembali mengamankan pemilik akun media sosial yang melakukan penyebaran ujaran kebencian (Hate Speech) melalui media sosial berinisial SS, pada Kamis Siang (21/09/17).
Kapolres Tanjungpinang AKBP Ardiyanto Tedjo Baskoro, SH, S.IK, MH yang sudah mengetahui keberadaan pelaku menunjuk Kasat Intelkam AKP Monang P. Silalahi untuk langsung memimpin pengamanan pemilik akun atas nama SS (37 Thn), yang mana telah melakukan pelecehan terhadap pejabat negara salah satunya Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
Pukul 12.30 Wib  AKP Monang beserta beberapa personil lainnya mendatangi rumah Agus selaku Ketua RT di tempat kediaman SS. hasil koordinasi dengan Agus bahwa membenarkan jika SS merupakan warganya.
“SS merupakan warga saya yang beralamat di Komplek Pertamina Blok B Tanjungpinang”, jelas Agus.
Selanjutnya Agus menghubungi SS untuk datang di kediaman Agus. Dari keterangan SS membenarkan akun tersebut miliknya.
“Benar Akun yang bernama SS tersebut adalah akun media sosial saya, saya mendapat gambar tersebut dari Media Sosial teman saya di Facebook atas nama Eagle Fly Free dan kemudian saya mengunggahnya kembali ke akun Facebook saya”, Ungkap  SS.
“Tujuan saya memposting tersebut hanya ingin meminta pendapat dari teman – teman di Facebook terkait dugaan adanya kesamaan wajah pejabat – pejabat negara saat ini dengan mantan anggota PKI”, lanjut SS.
Kasat Intelkam  AKP Monang P. Silalahi menjelaskan bahwa “pelaku melakukan postingan tersebut menggunakan Samrtphone merk Samsung Galaxy V warna hitam miliknya, pelaku mengambil gambar/foto-foto tersebut dari akun Facebook milik Eagle Fly Free (Eko Putro) pada hari Rabu tanggal 20 September 2017 sekira pukul 16.50 Wib setelah itu pelaku meng-Share kembali ke Group Facebook (P4WB) Pelopor Pergerakan Pewarta Publik Wajah Bangsa pada tanggal 20 September 2017 sekira pukul 23.45 Wib, sedangkan Eagle Fly Free memposting pada hari Rabu tanggal 20 September 2017 pukul 19.50 wib”,.
Selanjutnya SS diserahkan ke Penyidik Sat Reskrim untuk dilakukan proses penyidikan lebih lanjut. Hate Speech sedang menjadi buah bibir di masyarakat untuk menyebarkan propaganda, hasutan serta ujaran kebencian lewat website maupun media sosial.(aire)
Read more

Rabu, 20 September 2017

Ngopi Bareng Warga, Kapolres Tanjungpinang: Mari Ciptakan Suasana Kondusif di Tanjungpinang

Tanjungpinang - Menjalin hubungan baik antara masyarakat dengan Petugas Kepolisian serta perangkat pemerintahan sangat dibutuhkan dalam menciptakan situasi keamanan dan ketertiban yang kondusif. Wujud kepedulian terhadap lingkungan telah dilakukan oleh Kapolres Tanjungpinang AKBP Ardiyanto Tedjo Baskoro, SH, S.IK, MH yang disela kesibukannya bersilaturahmi dengan warga RW 08 Kelurahan Air Raja bertempat di Pos Kamling RT 03 Perum Griya Indonusa LestariRabu malam (20/09/17).
Pada kegiatan yang dihadiri oleh Camat Tanjungpinang Timur Yenni Trissia Isabella, S.Sos, Ketua Rt di wilayah RW 8, Tokoh Masyarakat dan warga sekitar, Kapolres Tanjungpinang membawa serta Para Pejabat Utama Polres Tanjungpinang.
Dalam penyampaiannya Kapolres Tanjungpinang Ardiyanto berpesan ”Agar para Pemuka Lingkungan (ketua RW/RW) harus peka terhadap permasalahan keamanan yang terjadi di wilayahnya, libatkan seluruh masyarakat untuk ikut serta menjaga keamanan lingkungan dan berharap kepada ketua RT untuk aktif melakukan pendataan terhadap pendatang baru” pungkas Ardiyanto.
Dalam menjelang Pilwako mendatang, Kapolres juga mengharapkan kerjasama para Pemuka Lingkungan untuk membantu warga masyarakat yang belum terdaftar untuk di daftarkan, jangan sampai ada warga yang tidak terdaftar yang akan menjadi permasalahan di kemudian hari, tutupnya.(aire)
Read more

Jumat, 08 September 2017

Abi, Kapolri Adalah Idola Saya


Tanjungpinang.info - Kapolri H Muhammad Tito Karnavian, PhD menerima Mohammad Abdullah Daud Abigiel pengidap autoimmune  berjenis Juvenile Rheumatoid heart disease.

Bocah berusia 8 tahun ini sangat kagum terhadap Tito, diawali dengan berbagai peristiwa yang diberitakan tentang sepak terjang Tito dalam menghadapi peristiwa-peristiwa tersebut, diantaranya ketika Tito sering muncul saat menangani unjuk rasa tanggal 2 Desember 2017, yang dihadiri jutaan masa dari berbagai pelosok Nusantara.


Abigail sangat antusias ketika diundang ke Jakarta untuk menerima penghargaan dari Idolanesia Award Indonesia (IAI) 2017, yang diberikan diberikan kepada para penyintas dan pemerhati autoimun dari Marisza Cardoba Foundation (MCF) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.

Tidak hanya bahagia untuk menghadiri acara tersebut, Abigail juga senang sekali karena berharap bisa bertemu Kapolri Tito Karnavian, sehingga ketika akan menaiki kereta api dari Stasiun Karang Asem Banyuwangi, dengan menggunakan masker muka dan membawa dua tas plastik dia memanggil ibunya untuk segera masuk ke dalam ruang tunggu. "Ibu cepat nanti ketinggalan kereta api. Kalo telat aku nggak jadi ketemu Pak Tito," katanya, 

Abigail diundang ke Mabes Polri, tanpa diberitahu akan bertemu Kapolri, dan kebahagiaanya tercurah ketika tanpa diduga Kapolri yang telah mengenakan peci untuk melaksanakan Sholat Jumat menemuinya di lorong ruang kerja Tito.


 Kepada Tito, Abigail menceritakan bahwa dirinya saat ini duduk di kelas 3 SD dan selalu mendapat nilai yang bagus, serta aktif dalam membuat blog namun belum di upload, dan ketika Tito menanyakan apa yang ingin diminta dari Kapolri, bocah kecil yang ingin menjadi Kapolri ini menjawab singkat, bahwa dirinya hanya ingin sehat.


ari

Read more

Peduli Rohingya, Mantan Kabareskrim Ito Sumardi Tulis Pesan

Jakarta -  Isu tentang Myanmar saat ini telah menjadi perhatian dunia dan juga keprihatinan serius di Indonesia. Mantan Kabareskrim yang sekarang menjabat sebagai Dubes RI untuk Myanmar Ito Sumardi memberikan penjelasan utuh mengenai latar belakang krisis ini.

Ito Sumardi menulis panjang mengenai krisis Rohingnya ini. Berikut tulisan mantan Kabareskrim ini yang dikutip dari detikcom, Jumat (8/9/2017).

Beberapa hari ini berita soal Rohingnya sangat mengemuka di berita Regional dan Internasional, tapi lebih ramai lagi di berita nasional dan telah berdampak banyaknya pertanyaan teman-teman di tanah air tentang Myanmar dan Rohingnya. Untuk itu saya sangat ingin berbagi sudut pandang dan beberapa fakta peristiwa terkait isu Rohingnya sebagai orang yang sekarang tinggal di Yangon dan pernah secara langsung mengunjungi tempat kejadian peristiwa 9 oktober 2016 termasuk pemukiman etnis Rohingnya, melakukan wawancana bersama beberapa duta besar dan Kepala perwakilan PBB di Myanmar. Tulisan ini merupakan highlight saja dan akan saya susun juga pembahasan per-topik selanjutnya sebagai bagian penjelasan dari tulisan pertama ini.

Sejak tahun lalu sebenarnya konflik Rohingnya di Rakhine State sudah mengemuka dan menjadi perhatian dunia internasional, ASEAN dan Negara-negara Islam (OKI). Sejak awal Tahun ini bahkan Pemerintah Myanmar telah membentuk Advisory Commission yang dipimpin oleh mantan Sekjen PBB Kofi Anan. Bahkan beberapa tahun sebelumnya (2012) juga sudah ada persoalan tentang Rohingnya sehingga Indonesia kebanjiran pengungsinya. 

Isu Rohingnya memang memang persoalan yang menahun di Myanmar yang belum terselesaikan hingga saat ini karena masalahnya sangat komplek dan tidak sesederhana yang dibayangkan masy ditanah air. Sejak persoalan kewarganegaraan dari etnis ini tidak dapat terakomodasi dengan baik dalam UU Kewarganegaraan Myanmar (Burma), Etnis Rohingnya juga terjerembab pada konflik horizontal dengan etnis Arakan yang menjadi suku mayoritas di Rakhine State, yang kemudian memuncak pada saat terjadinya kasus pemerkosaan dan pembunuhan antar dua kelompok etnis tersebut pada tahun 2012. Bahkan dalam konflik itu melibatkan tokoh agama, namun konflik itu sebenarnya juga berakar pada soal social economy, poverty dan etnisitas.
Etnis Rohingnya ini secara umum tidak seberuntung dengan Etnis Bengali yang sudah hidup nyaman sebagai warga Negara sejak jaman kolonial Inggris. Asal muasal wilayah mereka ada yang menyebut sama dan berasal dari campuran Bangladesh dan Pakistan Timur. Namun jelasnya kedua etnis ini bukan penduduk aseli wilayah Myanmar (Burma). Etnis Bengali telah secara bebas hidup secara social ekonomi dan bebas menganut agama, dan bahkan banyak yang menganut agama Islam. Yang beragama Islam mereka bebas melakukan peribadatan dan banyak masjid yang didirikan di kota besar di Myanmar. Sampai dengan Idul Adha kemarin saja mereka masih menjalankan ibadah Shalat Ied dan berqurban tanpa ada gangguan dari pemerintah maupun masyarakat yang beragama lain.

Secara umum, konflik etnik di Myanmar tidak hanya terjadi di Rakhine State saja, Myanmar masih menyimpan konflik antar etnis di beberapa State (di 7 Negara Bagian). Bagi kita bangsa Indonesia yang telah mendahului proses demokratisasi dan penataan kelembagaan Negara serta desentralisasi serta pengedepanan supremasi hukum, akan sedikit terheran jika mellihat struktur kenegaraan dan persoalan pemerintahan di Myanmar. Sebagai contoh, kita tidak biasa membayangkan bahwa di Myanmar ada tentara lokal (tentara etnis di Negara Bagiannya) di samping tentara nasionalnya.

Contoh lainnya, bahwa SDM Kepolisian termasuk militer Myanmar masih belum mempunyai kapasitas yang memadai baik dari pengetahuan, pengalaman, perlengkapan operasional untuk menghadapi dan menangani setiap konflik antar etnis tersebut, sehingga untuk menghadapi situasi darurat di Myanmar tentara nasional (Tatmadaw) lah yang mengambil peran (kendali) pada setiap penanganan konflik di beberapa bagian di negaranya, Polisi berada langsung di bawah komando tentara. Seperti kita ketahui dan kita alami juga di negara kita dulu, kalau tentara yang turun artinya yang dilakukan adalah upaya represif yang kadang mengabaikan dampak sosial yang diakibatkannya, bukan semata mata tindakan penegakan hukum, meskipun dalam beberapa keterangan resmi ada juga upaya penegakan hukum bagi kelompok yang melawan apabila tertangkap.
Pertanyaan yang sering muncul adalah, kenapa justru ketika Myanmar memasuki era demokratisasi, peristiwa-peristiwa penanganan konflik dengan pendekatan militeristik masih dilakukan. Padahal Daw Aung San Suu Kyi (DASSK) sebagai pemimpin de Facto Myanmar saat ini adalah penerima nobel perdamaian. Saya ingin menjelaskan terlebih dahulu latar belakang politiknya. Pasca kemenangan pemilu yang kedua di Myanmar, pemerintahan militer Myanmar akhirnya menyetujui proses demokratisasi dan memberikan kekuasaan kepada pemenang pemilu pada tahun 2015.

DASSK merupakan pemimpin yang dicintai rakyat Myanmar menang 80 persen lebih dalam pemilu, namun dia terhambat menjadi presiden karena status kewarganegaraan anaknya yang berkewarganegaraan Inggris. Infra dan supra struktur politik di Myanmar akhirnya bersepakat untuk menempatkan DASSK sebagai State Counsellor, struktur baru sebagai pemimpin de facto yang berkuasa di samping struktur formal yang menurut konstitusi. 

Proses demokratisasi Myanmar sudah dibuka dan dimulai namun proses transisi nya belum bisa terlaksana secara utuk karena pemenang pemilu 2015, tidak bisa melakukan reformasi yang signifikan sebab peran militer dalam pemerintahan masih terasa kuat, militer masih menjadi bagian dari parlemen dan memiliki hak veto, sebuah yang sangat istimewa untuk memveto setiap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sejalan dengan kebijakan "pengendali real" keamanan negara. DASSK sebagai pemimpin pemerintahan sipil belum punya instrumen aparatur keamanan yang kompeten sebagaimana di Negara-negara demokratis lainnya. Reformasi keamanan di Myanmar belum berjalan.

Ada satu nama penting dalam politik Myanmar yang tidak terlalu banyak muncul, namun dia merupakan tokoh penting, yang masih memiliki pengaruh kuat dalam manajemen pemerintahan sipil Myanmar saat ini, sehingga Parlemen perlu untuk bernegisiasi apabila hendak mengambil suatu kebijakan. Tokoh ini adalah tokoh kunci di Militer Myanmar saat ini yakni Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Senior Jenderal Min Aung Hlaing. Sebagai pimpinan tertinggi unsur militer dan memiliki suara mutlak di parlemen, tentunya akan sangat berpengaruh terhadap keputusan yang akan diambil oleh State concellor terutama dalam hal penanganan masalah gangguan keamanan. Beliau adalah tokoh militer yang tentunya memiliki kedekatan dengan pemerintah lama dan saat ini sangat ber peran untuk menjalankan pengruh militer dalam politik nasional Myanmar. Dialah salah satu tokoh penting yang membuat poros Myanmar-China, di mana pada saat pemerintahan terdahilu, sebelum masuk dalam keanggotaan ASEAN, Myanmar adalah negara proxy RRC, dan China juga banyak memberi bantuan langsung kepada Myanmar. Sejarah ini tidak bisa dinegosiasikan dalam konstelasi politik nasional maupun regional Myanmar.

Dari fakta ini ada beberapa analisis yang signifikan kenapa isu Rohingnya menjadi membesar karena terdapat permasalahan bahwa konflik ini ditangani oleh Militer yang akhirnya seperti tanpa kendali dan tidak sesuai dengan standar HAM dan SOP Penanganan Konflik yang jelas. 

Lebih lanjut dalam konteks isu konflik Rohingya yang terjadi pada Bulan Agustus 2017 ini, pada dasarnya kejadiannya tidak berdiri sendiri. Runtutan peristiwa sejak akhir 2016 memberi warna hingga peristiwa terakhir. Penjelasannya seperti ini.

Pasca konflik etnis 2012, Etnis Rohingnya hidup dalam kamp-kamp di beberapa wilayah di Negara Bagian Rakhine, mereka hidup dalam pengawasan aparatur wilayah, meraka memliki masalah kemiskinan dan terhambat pembangunannya karena status kewarganegaraanya yang tidak diakui. Di tengah situasi tersebut muncul kelompok solidaritas seperti Rohingnya Solidarity Organization (RSO) yang kemudian saat ini betubah bentuk menjadi Arakan Rohingnya Salvation Army (ARSA) yang sipimpin oleh Atta Ulla atau Abu Amar yang memiliki ibu Rohingnya dan bapak Pakistan anggota Taliban. Kelompok-kelompok ini melakukan gerakan radikal dengan melakukan serangkaian serangan baik kepada aparatur keamanan maupun warga lainnya dan mulai bergulir secara simultan pada akhir 2016 lalu.

Pada akhir tahun 2016 mereka menyerang pos-pos polisi dan membunuh beberapa polisi, kemudian dibalas dengan serangan oleh aparat keamanan (polisi dan tentara). Namun apa daya tentara dan polisi itu ternyata kalah banyak dan terkepung dan terjadi kontak senjata dan menewaskan puluhan aparat. Pasca kejadian ini aparatur keamanan Myanmar menilai situasi sudah tidak kondusif, hingga mereka melakukan opreasi khusus dan berdampak pada jatuhnya korban warga Rohingya, karena mereka menyerang beberapa kampung yang dijadikan tameng oleh kelompok Radikal. Jumlah korban masyarakat sangat banyak dan terindikasi juga terjadi pelanggaran HAM oleh tentara dan polisi Myanmar pada saat operasi militer tersebut. Terjadi eksodus pengungsi ke Bangladesh utamanya

Peristiwa di awal Oktober 2016 tersebut mengekskalasi dan Pemerintah Myanmar mengambil sikap untuk membuat tim pencari fakta dan bahkan membentuk Komisi Penasehat yang dipimpin oleh Kofi Anan. DASSK seperti ingin netral tak ingin menyalahkan militer namun juga tidak mau kehilangan muka karena terjadi pelanggaran dalam pemerintahan demokrasi yang tengah dipimpinnya. PBB secara terpisah telah memberikan perhatian terhadap peristiwa ini dan telah membentuk tim pencari fakta. Namun hasil tim pencari fakta PBB secara tegas ditolak karena mereka melakukan investigasi di kamp pengungsi yang ada di Bangladesh, hingga akhirnya Tim itu tidak berikan visa untuk masuk Myanmar.

Penolakan hasil Tim PBB oleh pemerintah Myanmar atas saran dari National Security Advisor (NSA) tersebut diamini dan diikuti oleh sikap Panglima Militer Min Aung Hlaing dan juga oleh kelompok masyarakat lainnya, tidak terkecuali dari kelompok agama. Bahkan mereka mendukung upaya bahwa warga Rohingnya agar tetap tidak diberikan status kewarganegaraan Myanmar. Padahal salah satu saran dari Kofi Anan adalah untuk mengurangi dan meredam konflik mereka perlu diberi status kewarganegaraan. Hingga kini perdebatan solusi pemberian kewarganegaraan ini terus bergulir, solusi hukum, social dan keamanan masih terus menjadi bahasan di pemerintah Myanmar.

Bahkan dalam beberapa kesempatan pemerintah mensinyalir bahwa eskalasi konflik terjadi karena isu Rohingnya telah ditunggangi kelompok teroris, sebab ada fakta bahwa penyerangan kepada aparatur keamanan Myanmar dipimpin oleh ekstrimis yang terkatif di Afghanistan, dan telah terjadi pergeseran isu internasional di mana konflik etnis ini telah berkembang menjadi konflik agama. Aparatur Keamanan Myanmar mengidentifikasi ada 10 Organisasi yang berafiliasi dengan MUJAHIDIN dan ISIS jaringan Andaman Sea yang terkait dalam penyerangan pos-pos aparatur keamanan Myanmar. Bahkan ada fakta bahwa sesama muslim pun jadi sasaran pembunuhan. 

Pasca kegagalan PBB mencari fakta dalam peristiwa Rohingnya di akhir tahun 2016, kemudian PBB menunjuk Ketua Tim Pencari Fakta yang baru, yakni telah dilakukan pembicraan intensif dengan Dewan HAM PBB untuk menujuk Marzuki Darusman. Belum saja upaya itu dilakukan meletus peristiwa baru.

Dalam konstelasi yang demikian itu terjadi antiklimaks pencarian fakta dan terjadi blunder baru yang kemudian terjadi pada Akhir Juli 2017 dan yang fantastis di bulan Agustus terjadi serangan secara sistematis pada lebih dari 10 pos polisi dan 1 markas tentara di wilayah Rakhine State Bagian barat daya. Dan lagi-lagi jatuh korban terlebih dahulu di pihak aparatur keamanan yang kemudian diikuti dengan operasi miliyer yang mengakibatkan jatuhnya puluhan korban baik dari aparat, penduduk.myanmar maupun kelompok etnis myanmar sehingga terjadi arus pengungsian lagi ke Negara terdekat maupun pengungsian masyarakat lokal yang menghindarkan diri dari daerah konflik.

Myanmar saat ini masih menggunakan pendekatan kedaulatan Negara dalam menyelesaikan konflik, sementara pendekatan HAM dan perspektif keamanan regional belum menjadi perhatian penuh. Saya melihat ini juga disebabkan oleh kondisi politik domestik Myanmar yang belum stabil dan ajeg untuk menjalankan seluruh prinsip-prinsip demokrasi. Peristiwa ini telah menggugah kemanusiaan kita semua namun perlu pertimbangan yang bijaksana dan lebih cermat dalam mengambil jalan sikap kita sehingga tidak gegabah memperlebar isu dan menimbulkan konflik baru.

Di tengah situasi yang demikian itu banyak pihak memfaatkan isu Rohingnya sesuai dengan kepentingannya. Indonesia sejak lama telah melakukan pendekatan kepada pemerintah Myanmar dan melakukan diplomasi non-megaphone dalam menyikapi isu Rohingnya. Jalan yang diambil adalah secara simultan memberikan bantuan kemanusiaan yang diberikan kepada masyarakat Rakhine. Karena sangat disadari di lapangan persoalan kemiskinan menjadi persoalan inti. Jalan ini merupakan kompromi dari pilihan politik luar negeri Indonesia. Tidak hanya di situ saja bahwa bantuan kemanusiaan Indonesia yang dikordinasikan dalam Aliansi Kemanusiaan Indonesia-Myanmar, telah melibatkan stakeholders yang lebih luas, yakni tidak hanya pemerintah saja namun juga organisasi keagamaan dan kemanusiaan, ada Mer-C, Dompet Duafa, Muhamadiyah, NU, DarutTauhid, PMI, Walubi, PKPU dkk.

Secara pro-aktif Indonesia juga melakukan double track diplomasi, yakni tidak hanya mengirimkan bantuan kemanusiaan, namun juga melakukan appeal (tekanan) agar pemerintah Myanmar sebagai kawan baik bisa mengambil langkah yang tepat dan tidak meruncingkan keadaan agar terjaga stabilitas keamanan regional. 

Berbeda dengan Negara tetangga kita Malaysia, Malaysia memang telah mengambil sikap untuk membawa persoalan ini secara organizational ke OKI dan secara eksplisit menyatakan kecaman kepada Myanmar. Namun sangat disayangkan, Malaysia menggandeng isu Islam dalam konflik Rohingnya ini. Myanmar balik menuduh Perdana Menteri Malaysia menggunakan isu Islam untuk menaikan Grade Pemerintahannya yang tengah terpuruk di dalam negeri. 

Saya jadi tergelitik juga kalau di tanah air justru isu Rohingnya digeser jadi sentimen keagamaan (Islam) yang diusung oleh beberapa organisasi-organisasi yang tidak memahami secara utuh apa yang sebenarnya terjadi disana, dan meminta pemutusan hubungan diplomatik antara indonesia dan myanmar. Pertanyaannya : "Apakah dengan pemutusan hubungan kita bisa menyampaikan pesan masyarakat Indonesia atau menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada kelompok rohingnya maupun masyarakat yang membutuhkan disana?".

Setiap orang punya pendapat dan cara menyampaikan pendapat, tapi apabila kita secara realistis mengedepankan fakta dan keadilan, maka langkah atau upaya yang akan kita lakukan benar2 menjadi efektif. Isu Rohingnya adalah isu kemanusiaan. Indonesia, PBB, OKI ASEAN telah turun melihat persoalan ini secara komprehensif, baiknya kita tak ikut-ikutan memperuncing keadaan dengan dasar penilaian yang cuma berdasarkan berita-berita yang tidak terklarifikasi dan belum tentu kebenarannya.

Prinsipnya kita bersepakat agar peristiwa-peristiwa yang merupakan tragedi perikemanusiaan ini agar segera dihentikan oleh seluruh pihak yang berkonflik di Myanmar. Kecaman kita tentunya tak hanya kepada pemerintah saja, namun juga kepada kelompok Rohingnya supaya tidak melakukan tindakan yang anarkis juga.
Berilanlah kesempatan kepada pemerintah myanmar untuk mempertimbangkan dan melaksanakan berbagai rekomendasi dari utusan pemerintah Indonesia sebagai negara sahabat tanpa kita berprasangka buruk terlebih dahulu agar suara kita, pesan kita, dan bantuan kemanusiaan kita dapat didengarkan dan dapat diterima daripada opsi pemutusan hubungan diplomasi yang merupakan langkah diplomasi drastis apabila ada pelanggaran permasalahan prinsip "antar dua negara".

Demikian tulisan ini disampaikan untuk mengajak kita kembali kepada sifat bangsa kita yang santun, bijaksana, peduli dengan ketertiban dunia dengan menghormati hak kedaulatan Myanmar.


Salam damai untuk kita semua.

Salam

arie
Read more